Andaikata Jenazah Covid19 Dapat Mengungkapkan Perasaannya
Herman Lawalata / Monday, 22 Jun 2020 / 08:27 WIT / 1.564 Read
Tidak ada istri dan anak-anak di dekatku, ketika terakhir kali aku bisa menghembuskan nafasku di ranjang isolasi itu. Mereka dilarang mendekatiku, bahkan ketika aku dalam keadaan sekarat sekalipun. Tak bisa kupandangi wajah dan kupeluk tubuh mereka, walau aku sudah memintanya dengan memelas. Katanya, agar mereka tidak tertular penyakitku. Penyakit aneh yang entah dari mana aku dapatkan. Sesaat kemudian, lima sosok berbaju putih bertutup kepala berdatangan. Tak kulihat wajah mereka, namun aku tidak takut kepada mereka. Aku sudah pernah melihat sosok-sosok itu selama aku dirawat di tempat ini. Walau tak pernah kukenali siapa mereka, tapi mereka memperlakukanku dengan kasih bagaikan orang tua mereka sendiri (klik Orang-Orang Di Balik Hazmat Suit).
Mereka mengatur letak tubuhku dan memindahkannya ke sebuah kantong warna kuning. Ya, kantong mayat. Mereka menutup kantong itu rapat-rapat, seolah takut cairan yang keluar dari tubuhku mencemari ke mana-mana. Sepertinya tubuhku mengandung racun yang membahayakan lingkungan. Lima orang itu mendorongku ke mobil jenazah ke luar dari tempat yang sering mereka sebut sebagai Zona Merah. Mobil itu kemudian berjalan perlahan selama sepuluh menit menuju ke suatu tempat di ujung lokasi kompleks Rumah Sakit itu.
Tiba-tiba mobil itu berhenti bergerak di sebuah gedung yang diberi nama Instalasi Pemulasaran Jenazah. Yang kutahu sebelumnya sebagai seorang Kristen, jenazah seseorang itu akan dimandikan dan dipakaikan pakaian yang layak, lalu dimasukkan peti jenazah. Itu pula yang kuharapkan dilakukan terhadap tubuhku yang sudah mulai dingin ini. Ternyata harapanku itu tidak terjadi. Mereka langsung memasukkanku ke dalam peti jenazah yang sudah disiapkan di salah satu ruang kosong, memakunya dan melapisinya dengan plastik rapat-rapat. Inikah rumah tubuhku yang terakhir? Sebelum peti ditutup tadi, sempat kudengar mereka berbincang bahwa seorang Pendeta sedang bersiap mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti mereka. Kemudian keheningan mencekam menyelimuti gedung itu.
Ke mana suara isak tangis keluarga dan orang-orang dekat yang biasanya kudengar jika ada suasana duka seperti ini? Aku masih berharap dapat melihat dan mendengar suara istri dan anak-anakku untuk yang terakhir kalinya. Tampaknya harapan itu akan sirna kembali. Sayup-sayup hanya kudengar suara Pendeta itu menyanyi lagu rohani dan doa singkat. Ya, semuanya harus cepat-cepat. Ku dengar tadi ada suara yang berteriak agar jenazahku segera dimakamkan, tidak boleh lebih dari empat jam. Sedih rasanya, aku harus meninggalkan keluargaku dengan cara seperti ini.
Sejenak kurenungkan, mungkinkah ini semua ganjaran atas keras kepalanya diriku? Banyak nasihat sudah kudengar agar aku pakai masker, agar aku jaga jarak, agar aku rajin membersihkan tangan dan seterusnya. Tapi kuabaikan semuanya itu. Aku pikir konyol sekali perbuatan orang-orang yang melakukan itu. Apakah betul virus corona itu ada saja tidak jelas? Menurutku itu konspirasi. Namun, sekarang semuanya sudah jelas. Tubuhku sudah membuktikannya bahwa virus corona itu sejatinya ada, walau aku tak bisa melihatnya. Sayangnya imunitas tubuhku tidak sanggup melawannya. Aku menyesal. Ya, penyesalan selalu datang belakangan.
Kisah semi imajinatif di atas penulis buat setelah kurang lebih selama setengah jam berperan sebagai jenazah dalam simulasi pemulasaran jenazah yang dilaksanakan oleh segenap jajaran Fasilitas Karantina Penyakit Infeksi Emerging Provinsi Papua Barat pada tanggal 19 Juni yang lalu (klik Mengenal Fasilitas Karantina Penyakit Infeksi Emerging Provinsi Papua Barat). Simulasi ini merupakan bagian dari serangkaian simulasi evakuasi gempa dan simulasi pemadaman api yang dilaksanakan sebelumnya pada hari yang sama. Selain, berperan sebagai jenazah Covid-19, penulis juga berperan sebagai pasien Covid-19 yang dievakuasi (klik Pasien, WFH = Work From Ho(me/spital)). / -DoVic 220620-
Link Referensi:
#DinkesPabar #SalamSehat