Covid19 Dan Tembakau
Herman Lawalata / Sunday, 31 May 2020 / 07:09 WIT / 1.279 Read
Hari ini, 31 Mei, adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Sebagian orang memimpikan bukan hanya Hari Tanpa Tembakau Sedunia, tapi Dunia Tanpa Tembakau Setiap Hari. Bisakah? Rinjani mengulasnya dalam tulisan berikut, menyusul tulisannya terdahulu (klik New Normal: Normal Yang Berbeda Dari Sebelumnya!).
Tidak diragukan lagi bahwa perilaku merokok mengandung faktor risiko untuk kesehatan. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya rokok yang dihisap dan umur awal merokok yang lebih dini. Merokok menjadi masalah terbesar di negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa penggunaan tembakau mengakibatkan penyakit, disabilitas dan merusak hampir semua organ dalam tubuh manusia, termasuk paru-paru. Corona virus menyerang paru-paru, jika paru-paru sudah rusak karena tembakau, virus ini dapat menimbulkan dampak yang lebih parah pada tubuh. Tembakau akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, artinya akan lebih tidak berdaya dalam melawan infeksi, serta memiliki resiko terinfeksi corona virus lebih tinggi jika menggunakan tembakau (klik Matikan Rokokmu, Sebelum Rokok Mematikanmu!).
Tembakau menambah risiko untuk banyak penyakit, seperti kanker, penyakit jantung, masalah-masalah pernafasan dan lainnya. “Sergion General’s” Report 1982, mencatat bahwa 30% dari semua kematian akibat kanker berkaitan dengan penggunaan tembakau. Tidak hanya kanker paru-paru, disebut juga kanker mulut, pharynx, esophagus. Dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok, timbulnya penyakit coroner lebih tinggi 50% bagi pria yang merokok kira-kira satu bungkus setiap hari, dan 200% bagi pria yang merokok lebih dari satu bungkus, menurut studi prospektif oleh Rosenman. Merokok dapat mengarah pada berbagai macam penyakit lainnya yang digolongkan bersama sebagai penyakit paru-paru kronis. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% kasus-kasus penyakit paru-paru tersebut berkaitan dengan merokok (Sarafino, 1990).
Merokok dapat menimbulkan kerugian berat bagi anak-anak yang belum lahir. Para ibu hamil yang merokok menambah kemungkinan timbulnya berbagai komplikasi seperti kelahiran sebelum waktunya (prematur), berat badan kurang waktu kelahiran, mortalitas prenatal dan gangguan-gangguan perkembangan. Sejumlah studi menegaskan bahwa kebanyakan perokok mulai antara umur 11 dan 13 tahun. Kurang lebih 85% sampai 90% sebelum umur 18 tahun. Mulai merokok terjadi akibat pengaruh lingkungan sosial, diantaranya teman sebaya (46%), orang tua (14%), saudara (23%) dan lain-lain (6%) (Sarafino, 1990).
Tekanan teman sebaya merupakan faktor yang terpenting, karena dengan merokok kaum muda merasa memiliki gaya hidup (life style), merasa lebih berkonsentrasi, merasa menyenangkan bisa diterima oleh lingkungan dan lain-lain. Sehingga keluarga dalam hal ini, pengasuhan (pola asuh) merupakan faktor penentu untuk mengontrol serta memberikan dukungan sosial dalam rangka pencegahan. WHO juga menjelaskan, bahwa asap rokok orang lain berisiko menimbulkan infeksi saluran pernafasan. Asap rokok orang lain di rumah dan tempat umum masih menjadi masalah (klik Sekolahku Sudah Jadi Kawasan Tanpa Rokok). Penting bagi Indonesia, bahwa anak-anaklah terutama yang berisiko menghirup asap rokok orang lain. Dalam himbauannya, organisasi kesehatan dunia meminta untuk mengurangi paparan asap rokok orang lain. Lindungi semua orang dengan cara menjaga rumah dan mobil bebas dari asap tembakau. Hindari tembakau saat Covid-19 mewabah dan selamanya. Waktunya bicara #TobaccoExposed #WorldNoTobaccoDay #NoTobacco #salamsehatjiwa
Beberapa data di atas diambil dari Buku Psikologi Kesehatan, Bart Smet, 1993./ -DoVic 310520-
#DinkesPabar #SalamSehat