Dia Yang Bernama Thomas Mambrasar
Edlon Manurung / Friday, 27 Nov 2020 / 09:05 WIT / 1.689 Read
Kisah inspiratif masa lalu, sayang jika dibuang (klik Belajar Dari Hoax Kelaparan Di Tambrauw Pada Masa Lalu). Kisah kemanusiaan kali ini sengaja di-posting, agar abadi secara digital (klik Tinggalkan Jejak Digital, Akhirnya, Sampai Juga Kita Di Kasus Ke-5.000). dr. Sri Riyanti Windesi, Sp.A. menjadi pelaku sekaligus saksi hidup kisah ini. Dokter spesialis anak lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini mengisahkannya untuk pembaca blog ini (klik Duo Alumni Airlangga di Timur Jawa Jawa Dwipa).
Sore ini, 25 November 2020, saya mendapat telepon dari nomor tak dikenal. “Halo kakak dokter, ini Rosa kakaknya Thomas dari Yeunwapnor. Thomas mau bicara.” Saya tersenyum senang, karena baru kemarin saya meminta tolong bu Patma Sangadji, Kepala Ruang Perawatan Anak RSUD Kabupaten Raja Ampat, tempat saya bekerja dulu untuk mencari nomor kontak bapaknya Thomas.
“Sa sudah besar, sa rajin sekolah, mau naik kelas dua.” Suara gembira seorang anak laki-laki terdengar di telinga saya. “Sa sekolah biar bisa jadi dokter, karena kata Bapak, sa punya dokter banyak, yang sudah periksa dan kasih sa obat.” Saya bertanya apakah dia sudah bisa membaca? Dan saya memintanya agar menulis surat kepada saya bila menginginkan sesuatu. “Saya minta baju kaos merah dan sepatu yang ada lampu untuk hadiah Natal,” katanya.
Senja ini menjadi senja yang istimewa. Ingatan saya kembali mundur ke masa enam tahun yang lalu saat masih bekerja di RSUD Kabupaten Raja Ampat. Sebagai seorang dokter spesialis anak yang bertugas di RS pemerintah dengan fasilitas terbatas, tentunya kedatangan seorang pasien dalam keadaan sesak, pucat dan lemah, ditambah dengan gizi buruk, yang pastinya juga dengan status ekonomi yang sangat terbatas membuat saya nyaris frustrasi. Apa yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkannya? Terbayang betapa sulitnya mencari donor darah, ketiadaan jaminan kesehatan, belum lagi kehadiran mereka satu keluarga besar yang harus saya pikirkan juga bagaimana kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Terlebih setelah saya mendapat telepon dari Kementerian Kesehatan yang ikut memantau keadaan bocah laki-laki ini. “Selebritis” di televisi salah satu negara ini membuat Kementerian Luar Negeri kita menghubungi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ceritanya berawal dari sekelompok wisatawan manca negara yang kebetulan berkunjung ke kampungnya Thomas, di mana saat itu ada dua orang yang berprofesi sebagai dokter (dr. Tom Mulholland dan dr. Caroline Haart, seorang dokter spesialis anak). Merekalah yang memeriksa dan mendokumentasikan keadaan sang bocah hingga menjadi pusat perhatian.
Perjuangan hidup anak ini sungguh luar biasa. Dengan kadar hemoglobin 1,5 gr/dl, dia masih bisa bertahan hidup dengan nafas yang tersengal-sengal. Segala daya upaya dalam keterbatasan kami kerahkan. Thomas sempat dirujuk ke Sorong yang selanjutnya direncanakan ke Jakarta untuk evaluasi dan tindakan, bila memang diperlukan untuk kecurigaan penyakit jantungnya.
Namun, suatu dukacita datang, di mana sang ibu meninggal dunia pada saat itu. Akhirnya, perjalanan ke Jakarta dibatalkan dan Thomas sekeluarga kembali ke kampung. Perjuangan belum berakhir. Dibantu oleh bidan yang bertugas di kampungnya, saya bisa memberi pengobatan dan menitipkan makanan tambahan untuk memperbaiki status gizinya. Terima kasih buat bu bidan Ina (alm) yang banyak berperan dalam kesembuhan Thomas.
Puncak dari perjuangan adalah saat kedua dokter dari New Zealand itu datang setahun kemudian. Mereka membawa alat echocardiography. Sementara dari RSAB Harapan Kita Jakarta datang serombongan besar para dokter spesialis anak konsultan termasuk DR. dr Syarif Rohimi, SpAK, konsultan jantung anak yang akan mengevaluasi Thomas. Dan betapa rasa syukur saya panjatkan pada Allah SWT, ketika tahu bahwa jantung sang bocah baik-baik saja. Masih terbayang jelas betapa cerah wajah sang bapak saat diberitahu hasil pemeriksaan jantung anaknya.
Banyak pelajaran berharga yang saya dapat dari perjalanan hidup bocah pulau ini. Tentang kesabaran dan keikhlasan keluarga. Saya mencatat banyak kepedulian dan kebaikan hati orang-orang yang tulus ikhlas mengambil perannya masing-masing. Dan yang pasti betapa besar kuasa SANG MAHA PEMBERI HIDUP yang selalu ada bersama para malaikatnya, menjaga dan mengisi segala kekurangan kami di tempat di mana fasilitas sangat terbatas.
Dari yang hanya bisa terbaring lemah hingga bisa bangun dan berjalan, juga hingga saat ini bisa bersekolah adalah suatu keajaiban bagi saya. Tak ada yang tak mungkin bila itu sudah menjadi kehendakNya. Jangan pernah menyerah, sekecil apapun harapan yang ada, tetap patut diperjuangkan.
Kisah ini terjadi enam tahun yang lalu, tetapi menjadi pelajaran berharga seumur hidup saya.
“Nak, belajarlah yang rajin. Semoga kelak kau menjadi salah satu pemimpin di negeri ini. Amien.”
Foto-foto terkait Thomas Mambrasar dalam blog ini atas kontribusi dr. Sri Riyanti Windesi, Sp.A.
Ucapan terima kasih tak terhingga:
- Para perawat, petugas gizi, laboratorium, apotik RSUD Raja Ampat.
- Bidan Ina (alm) yang bertugas di Kampung Yeunwapnor.
- dr. Tom Mulholland dan dr. Caroline Haart.
- dr. Engelbert Wader (saat itu sebagai Direktur RSUD Kabupaten Raja Ampat).
- DR. dr. Syarif Rohimi, SpAK dan semua TS dokter SpAK yang ikut datang ke Raja Ampat.
- dr. Victor Eka Nugrahaputra, M.Kes (saat itu sebagai Kepala Bidang Pelayanan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat) dan teman-teman dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat.
- dr. Tommy Yong (alm) (saat itu sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Raja Ampat) dan teman-teman Dinas Kesehatan Kabupaten Raja Ampat.
- Dan semua pihak yang ikut membantu, baik moril maupun materiil.
Ternyata bumi ini masih dipenuhi orang-orang baik.
-DoVic 271120-
#DinkesPabar #SalamSehat