Lawan Stigma Dengan Kasih
Herman Lawalata / Thursday, 11 Jun 2020 / 13:00 WIT / 3.724 Read
“… dan yang paling besar di antaranya ialah KASIH” (I Korintus 1 : 13b). Seolah buntu sudah segala upaya untuk menghilangkan stigma akibat Covid-19 di tengah masyarakat? Sudahkah upaya-upaya tadi dilandasi kasih? Simak ajakan Rinjani, S.Psi., M.Psi. melalui tulisan berikut ini, menyusul tulisan sebelumnya (klik Anti Sosial Di Masa Pandemi Covid-19).
Lagi dan lagi “stigma”. Jangan pernah bosan dengan kata “Stop Stigma” (klik Katakan ‘No’ Pada Stigma). Manokwari, mari kita bersama-sama lawan stigma dengan kasih. Stigma dapat menimbulkan stress, depresi, perasaan malu, marah atau bahkan dengan berbagai macam reaksi (fisik, mental maupun perilaku). Stigma membuat orang terkucil atau bahkan diabaikan, yang pada akhirnya dapat menghambat atau mengganggu dalam proses atau upaya pengobatan. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ., MPH., mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melawan stigma dengan tidak mendiskriminasi dan mengucilkan tenaga kesehatan dan orang-orang yang terpapar Covid-19. Stigmatisasi tersebut sangat berdampak terhadap imunitas seseorang yang terpapar Covid-19 dan akan berpengaruh dalam proses penyembuhan pasien Covid-19.
Bahwa virus corona dapat menyerang pada siapapun. Virus corona tidak melihat warna kulit, agama, suku, artis, pejabat, orang kaya atau miskin bahkan tenaga kesehatan sekalipun. Wabah Covid-19 harus diputus mata rantai penyebarannya dengan mengikuti protokol kesehatan. Masih jelas diingatan kita satu bulan yang lalu, pasien Covid-19 dari Fasilitas Karantina Penyakit Infeksi Emerging (PIE) Provinsi Papua Barat negatif dan berkumpul kembali dengan keluarga, artinya Covid-19 dapat disembuhkan (klik “Hore!! Tubuh Kami Telah Terbebas Dari Corona Virus”). Maka, kita semua harus yakin bahwa kita bisa melawan Covid-19 dengan pengobatan. Dalam hal ini mengikuti pengobatan secara fisik (farmakologi) maupun psikis (mental) yang diberikan oleh ahlinya.
Stigma sosial muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fenomena pandemi yang sedang terjadi, adanya prasangka dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang sudah mendapatkan label tertentu terkait dengan Covid-19. Tanpa disadari, stigma sangat melukai seseorang atau kelompok, bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan virusnya itu sendiri. Kita harus melawan stigma dengan kasih, melalui empati sosial. Menurut Elisabeth Segal (penulis buku Social Empathy : The Art of Understanding Others) mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka dan sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan kesenjangan struktural. Kemudian pemberian dukungan sosial pada tenaga kesehatan, pasien Covid-19 maupun keluarganya. Melalui empati sosial dan dukungan sosial, maka akan menumbuhkan kasih untuk melawan stigma.
Menurut dr. Fidiansjah yang juga adalah Pembina Wilayah Provinsi Papua Barat, upaya melawan Covid-19 harus secara komprehensif (klik Kolaborasi Itu Keren). Tidak hanya pada penanganan secara fisik, tapi juga dalam konteks kesehatan jiwa dan psikososial masyarakat. Jangan sampai berbagai informasi yang disampaikan juru bicara pemerintah terkait penanganan Covid-19 setiap harinya dapat menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat akibat ketidakpahaman (klik Saatnya Para Jubir Covid-19 Bicara). Stigma di masyarakat dapat ditekan dengan cara menyampaikan komunikasi risiko dengan tepat. Media berperan penting dalam komunikasi risiko kepada masyarakat dengan tidak hanya fokus pada pertumbuhan kasus dan kurangnya keterbukaan informasi perihal penanganan Covid-19 (klik Media Sosial, Sarana Humas Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat). Pemberitaan media terkait informasi yang utuh soal penularan virus yang tidak sampai ke masyarakat sangat mempengaruhi stigma terhadap orang terkait Covid-19, baik itu kategori Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), pasien positif dan keluarga pasien maupun tenaga kesehatan. Tentu sikap ini harus kita lawan karena akan menimbulkan dampak kesehatan jiwa pada komunitas masyarakat itu sendiri. #SalamSEJIWA #salamsehatjiwa/ -DoVic 110620-
#DinkesPabar #SalamSehat