Mengakhiri Tugas Setelah 24 Tahun Di Irian Jaya
Edlon Manurung / Tuesday, 19 Jan 2021 / 18:41 WIT / 2.882 Read
Pembaca blog yang budiman,
Postingan kali ini agak bersifat personal, karena memang ada momentum yang khusus yang tidak akan terulang. Bila pembaca tidak berkenan bisa skip saja, namun bila ingin tahu silakan lanjut membacanya.
Ketika itu, di tahun 1995-1996, nama Irian Jaya sangat umum jika langsung dikonotasikan dengan keadaan tidak aman, berbahaya, kurang mengenal peradaban, tertinggal, penduduknya masih pakai koteka. Maka ketika ditanya, ingin menjalani tugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di mana dan penulis menjawabnya di Irian Jaya, orang yang mendengarnya terheran-heran, kecuali keluarga penulis. Akhirnya, dengan dukungan penuh keluarga dan calon istri, penulis berangkat ke Jayapura, ibukota Provinsi Irian Jaya, sebagai dokter PTT angkatan XIII pada awal November 1996 (klik Duo Alumni Airlangga di Timur Jawa Dwipa).
Setelah menjalani pembekalan yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (Kanwil Depkes) Provinsi Irian Jaya di Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Abepura, tibalah saatnya untuk menentukan lokasi Puskesmas sebagai lahan pengabdian selama tiga tahun. Kala itu, media informasi tidak tersedia luas seperti sekarang ini. Ketika masih di daerah asal, Sidoarjo Jawa Timur, penulis hanya mengetahui satu tempat di Irian Jaya, yaitu Wamena. Namun, waktu itu semua Puskesmas sangat terpencilnya sudah terisi dokter. Penulis harus memilih tempat lainnya. Penulis menyerahkan sepenuhnya kepada Kanwil Depkes Provinsi Irian Jaya dan akhirnya ditugaskan ke Puskesmas Waghete, Kabupaten Paniai. Beberapa hari menjelang keberangkatan, lokasi penugasan diubah ke Puskesmas Bintuni, Kabupaten Manokwari. Pada prinsipnya, penulis bersedia mengabdikan diri di mana saja di Irian Jaya, sebagaimana lirik lagu gubahan Pdt. Dr. Stephen Tong yang mendorong penulis ke Irian Jaya.
Ke mana saja ‘ku telah sedia, pimpinan Tuhan tak pernah bersalah. Tolong ‘ku taat memikul salib-Mu, Tuhan pimpinan-Mu sempurna.
Dalam kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharga di mata-Mu. Ke mana saja ‘ku telah sedia, ‘ku mau cinta yang dicinta Hu.
Dua orang dokter ditugaskan ke Kabupaten Manokwari. Selain penulis, satunya adalah dr. Nurmawati, dokter asal Manokwari lulusan Universitas Hasanuddin Makassar yang ditugaskan di Puskesmas Prafi SP IV. Ketika berangkat ke Irian Jaya, penulis tidak ada kenalan satupun, apalagi keluarga. Pada akhirnya, dr. Nurmawati-lah yang menjadi keluarga penulis. Saat ini, dr. Nurmawati sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Pada waktu-waktu selanjutnya, keluarga Otto Parorrongan juga menjadi keluarga yang menyediakan tumpangan bagi penulis dan istri, ketika kami berada di Manokwari. Saat ini, Otto Parorrongan, SKM, M.MKes. adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Keluarga John Guntarto, pemilik apotik Citra Farma, juga telah menjadi keluarga bagi penulis, di mana selama hampir tiga belas tahun penulis diberikan tempat tinggal dan tempat berpraktik sebagai dokter selama tahun 2007-2012.
Waktu itu, penulis dan dr. Nurmawati diterima oleh dr. Paulus Rudi Margono selaku Kepala Dinas Kesehatan yang juga selaku Kepala Kantor Departemen Kesehatan Kabupaten Manokwari, yang kemudian ditugaskan untuk menjalani orientasi terlebih dahulu di RSUD Kabupaten Manokwari yang dipimpin oleh dr. Trisnayanti selaku Direktur. Selanjutnya, masa tiga tahun bertugas di Puskesmas Bintuni ternyata bukanlah waktu yang lama, walaupun kala itu Bintuni termasuk daerah yang cukup terisolir secara akses transportasi dan komunikasi. Seluruh staf Puskesmas dan masyarakat Bintuni menerima penulis dengan baik, sehingga pengalaman dukapun dapat dijalani dengan sukacita (klik Go Bintuni Go). Apalagi separuh masa tugas dijalani bersama istri.
Satu peristiwa duka yang penulis alami selama bertugas di Bintuni adalah meninggalnya ayahanda penulis, karena stroke yang dideritanya beberapa tahun terakhir. Di hari penulis mendengar kabar duka itu, tak disangka-sangka pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF) akan masuk ke Bintuni, setelah beberapa bulan tidak ada penerbangan. Situasi tersebut justru memposisikan penulis bak makan buah simalakama. Saat itu, penulis bisa memilih pulang ke Sidoarjo untuk menghantarkan ayahanda ke tempat peristirahatan terakhir. Namun, saat itu Indonesia, termasuk Puskesmas Bintuni sedang melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang harus disukseskan. Akhirnya, penulis dan istri memutuskan untuk tetap tinggal. Sebuah keputusan yang berat.
Tiga tahun berikutnya, 2000-2003, penulis jalani sebagai dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Kepala Puskesmas Prafi SP IV. Ketika itu, di bawah kepemimpinan Abdul Kadar, SKM selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, Puskesmas Prafi SP IV dipilih menjadi Puskesmas lokus percontohan Safe Motherhood Programme yang didukung Unicef (klik Mewacanakan Kembali Radio Medik: Roger!). Di tengah-tengah masa tugas tersebut, penulis berkesempatan berkunjung ke Wamena, daerah yang menjadi impian lokasi pengabdian awal, selaku fasilitator Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Dalam kesempatan itu, penulis berkesempatan bertemu dr. Siti Ramlah Saifoeddin, yang sekarang menjadi rekan sekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Saat ini, dr. Siti Ramlah Saifoeddin, MPH adalah Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer.
Tahun 2003, penulis diberikan kesempatan dan beasiswa oleh Universitas Cenderawasih untuk mengambil pendidikan magister Mikrobiologi Kedokteran di Universitas Airlangga Surabaya. Bersama beberapa orang dokter lainnya dari Manokwari, termasuk dr. Irianto Ramandey, dr. Rika Kapissa (alm) dan dr. Eliezer, penulis ingin memperkuat pendidikan kedokteran di Jayapura sebagai dosen pre klinik. Penulis selesaikan pendidikan magister tersebut dalam dua tahun serta menghasilkan thesis dan sejumlah tulisan terkait biomolekuler virus hepatitis B di Jayapura yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dan internasional (klik 2019-nCoV Menyerang, Manusia Bertahan). Sayangnya, penulis tidak dapat mengabdikan ilmu yang didapat sebagai dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Cenderawasih Jayapura. Meskipun demikian, ilmu Mikrobiologi Kedokteran yang penulis peroleh pada akhirnya sangat dibutuhkan saat dalam situasi yang genting di tengah pandemi Covid-19, harus segera mengoperasionalkan Laboratorium Biomolekuler RT-PCR Covid-19 di Fasilitas Karantina Penyakit Infeksi Emerging (PIE) Provinsi Papua Barat (klik Ingin Laboratorium PCR Covid-19 Berfungsi Optimal?).
Tidak terkabul menjadi dosen di FK Universitas Cenderawasih, selanjutnya penulis diberikan kepercayaan oleh Bupati Manokwari, Drs. Dominggus Mandacan dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari saat itu, drg. Henri Sembiring sebagai Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari. Tugas itu penulis emban selama kurang lebih dua tahun dari 2007-2009, sebelum akhirnya diberikan kepercayaan baru sebagai Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat sejak 29 Maret 2009 sampai 22 Juni 2020. Bertugas sebagai birokrat selama tiga belas tahun memberikan kesan tersendiri, karena tidak lagi bisa sering melayani pasien secara langsung seperti ketika berada di Puskesmas. Mengelola program kesehatan dengan cakupan satu Kabupaten atau bahkan satu Provinsi tentunya menjadi berbeda dengan cakupan hanya satu Distrik saja.
Dapat mengabdi, melayani dan mengamalkan ilmu di Irian Jaya atau sekarang Papua Barat adalah satu hal yang penulis syukuri dan tidak pernah disesali, walaupun ada beberapa pengorbanan, termasuk hidup terpisah dengan istri dan anak-anak. Namun, dapat menuntaskan pengabdian dan pelayanan sesuai rancangan Tuhan adalah hal berikutnya. Puji Tuhan, penulis dengan berbagai kelemahan dan keterbatasannya dimampukan untuk menuntaskan misiNya di Ujung Bumi Nusantara.
Puji Tuhan, penulis diberikan kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri dan dapat menjadi bagian pelaku pembangunan kesehatan di Irian Jaya Barat selama 24 tahun. Pada saat itu, jumlah dokter di Manokwari dapat dihitung dengan jari tangan. Namun, sekarang jumlahnya sudah lebih berlimpah dan sebagian adalah putera-puteri asli Papua yang dididik di FK Universitas Cenderawasih (klik 18 Dokter Lulusan Uncen Menjalani Internsip di Papua Barat). Sehingga, ada terbersit harap di dalam hati penulis agar para dokter tetap dapat menjaga kehormatan profesi dan menunjukkan totalitas pengabdian, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 ini (klik In Memoriam: dr. Titus Taba, Sp.THT-KL, Selamat Jalan Dokter Teladan Tingkat Dunia, Dr. Brahim!, Perginya Sang Teladan).
Selama 24 tahun lebih, penulis telah Tuhan izinkan menabur beberapa hal kecil di Tanah Papua. Sebagian sudah dituai, yang lain sedang ditumbuhkan oleh Tuhan. Semoga penulis masih bisa mendengar atau melihat hasil tuaian yang lain, walaupun dari jauh. Sebagaimana dr. Bambang Sardjono, MPH, mantan Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi yang mengamini ucapan Pdt. Ishak Samuel Kijne, demikian pula penulis. “Barangsiapa yang bekerja di Tanah ini dalam iman dan dengar-dengaran, akan berjalan dari tanda heran satu kepada tanda heran yang lain” (klik Bertugas di Remote Area: Mengatasi Jurang).
Hari Jumat yang lalu, 15 Januari 2021, telah diadakan acara perpisahan penulis dengan jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, termasuk RSUD Provinsi. Sebuah acara yang memberikan kesan mendalam, bukan hanya buat penulis, namun bagi siapa saja yang hadir. Acara ini tidak hanya menandai berakhirnya tugas penulis di Papua Barat, namun juga merayakan nilai-nilai kebaikan yang tumbuh bersama dalam keluarga besar Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Hari Sabtunya, penulis berkunjung untuk terakhir kalinya ke RSUD Provinsi Papua Barat menjalani rapid test antigen Covid-19 sebagai syarat perjalanan. Melihat sekali lagi jejak-jejak keringat dan pemikiran selama enam tujuh tahun mengupayakan berdirinya gedung Rumah Sakit tersebut.
Terima kasih kepada istri, anak-anak dan orang tua yang telah mendukung dan mendoakan sepenuh hati. Terima kasih kepada Pdt. Dr. Stephen Tong yang memberikan landasan pelayanan penulis. Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan sekerja di Puskesmas, Klinik Pratama dan Utama, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat yang telah menjadi tim kerja yang baik dalam membangun kesehatan di Papua Barat. Terima kasih kepada para dokter senior dan yunior yang telah berjuang bersama. Juga terima kasih kepada rekan-rekan lain dan lembaga mitra yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mohon maaf atas segala kesalahan.
Pada tanggal 18 Januari 2021 kemarin, penulis masih berkesempatan menjalankan tugas terakhir sebagai narasumber pada Pelatihan Kesehatan Tradisional dan Pendampingan TOGA Kota Sorong, sekaligus berpamitan dengan daerah yang menjadi salah satu wilayah binaannya. Dan siang ini, dari Kota Sorong penulis akan meninggalkan Irian Jaya yang dicintainya. Jika Tuhan menghendaki, penulis akan melanjutkan tugasnya sampai memasuki masa pensiunnya di Kementerian Kesehatan. Bukan memilih pindah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo atau Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang lebih dekat keluarga, tetapi memilih pindah ke Kementerian Kesehatan adalah supaya masih bisa memiliki kesempatan melihat Irian Jaya yang dicintainya sebelum akhir hayatnya. Soli Deo Gloria.
Wherever to go my heart is ready, Lord, I know Thy guidance never, never fails. Help me to obey and to bear Thy cross, Lord, I know Thy guidance never fails.
Whether in a city or in a virgin land, souls Thou created are same precious in Thy sight. Wherever to go my heart is ready, o Lord, help me to love whom You love.
-DoVic 190121-
#DinkesPabar #SalamSehat