Mobile VK
Herman Lawalata / Monday, 22 Jun 2020 / 08:38 WIT / 1.800 Read
Kini dr. Rr. Retno Suminar sudah berada di daerah asalnya, Semarang, Jawa Tengah. Dia dan rekan satu timnya baru saja selesai mendarmabaktikan hidupnya dengan bertugas di Puskesmas Tanah Rubuh, Kabupaten Manokwari melalui program Nusantara Sehat selama dua tahun (klik Mengakhiri Tugas Di Saat Pandemi Covid-19). Dokter lulusan Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2015 ini mengisahkan pengalamannya di tempat yang akan selalu dikenangnya.
Awalnya perasaan saya begitu berkecamuk ketika ditempatkan sebagai dokter Nusantara Sehat di Papua Barat. Antara takut dan senang, saya merasa khawatir dengan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan saya temui sekaligus bersemangat menghadapi tantangan-tantangan baru. Mendengar kata ‘Papua’, terbayang sudah medan kerja yang berat dan minim fasilitas, akses jalan yang sulit, jalan berlumpur, paling tidak inilah masalah yang saya pikir akan menjadi problem utama disana. Ternyata, fasilitas di sini cukup baik, tersedia air, listrik dan akses jalan, namun ada tantangan lain yang tidak disangka-sangka.
Masyarakat Distrik Tanah Rubuh, tempat saya ditugaskan, memiliki karakteristik yang unik. Meskipun hanya berjarak satu jam perjalanan darat dari ibukota provinsi dengan akses jalan yang baik, ketersediaan listrik dua puluh empat jam dan jaringan telpon, tidak lantas bisa disamakan dengan masyarakat di kota. Masyarakat disini masih memegang erat adat dan budaya mereka. Salah satunya adalah pemahaman tentang ‘suwanggi’. Suwanggi ini dianggap sebagai ilmu hitam tidak kasat mata yang dapat mencelakakan korbannya. Seringkali ketakutan terhadap suwanggi mencegah masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal.
Salah satu kasus di awal-awal penugasan adalah ketika ibu hamil enggan bersalin di Puskesmas karena takut akan suwanggi. Tidak seperti sekarang ini, kala itu belum ada satupun persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di Puskemas. Kebanyakan mama-mama ini melahirkan di rumah dibantu oleh anggota kelurganya, bahkan tidak jarang sendirian. Kelurga akan datang meminta pertolongan apabila persalinannya terkendala. Seperti pada suatu sore saat kami telah selesai bertugas dan bersantai di rumah dinas, tiba-tiba ada seorang bapak yang meminta pertolongan karena ‘kakak’ dari bayi yang dilahirkan istrinya belum keluar. Astaga! Saya cukup kaget saat itu, saya pikir ada persalinan bayi kembar yang dilakukan di rumah. Mau tidak mau kami datang ke rumah pasien untuk segera memberikan pertolongan. Belum pernah saya menolong persalinan di rumah, apalagi pesalinan kembar seperti ini. Dengan perlengkapan seadanya kami berangkat ke rumah pasien.
Ternyata eh ternyata, satu hal yang baru kami tahu saat itu, yang dimaksud ‘kakak’ adalah plasenta dari bayi yang dilahirkan. Walaupun kondisi yang dialami bukanlah kondisi yang fisiologis juga, tapi ada sedikit kelegaaan dalam hati saya. Untunglah, setelah diberikan injeksi oxitosin dan observasi selama beberapa waktu plasenta dapat lahir, kondisi ibu dan bayipun cukup baik, sehingga kami bisa memberikan perawatan pasca persalinan.
Sejak saat itu, kami benar-benar berusaha menyakinkan masyarakat untuk mau bersalin di Puskesmas, kami jelaskan manfaatnya bersalin di Puskesmas dan betapa berbahayanya bersalin di rumah. Lambat namun pasti, mulai banyak mama-mama yang datang untuk bersalin di Puskesmas. Hal ini betul-betul menguntungkan untuk kedua pihak, aman bagi ibu melahirkan dan nyaman bagi petugas kesehatan. Walaupun masih ada beberapa pasien yang harus ditolong di rumah oleh tenaga kesehatan layaknya VK-berjalan. Harapan saya, perkembangan seperti ini dapat dipertahankan di Puskesmas, caranya tentu dengan tetap menjaga kualitas pelayanan yang telah diberikan. Adat istiadat yang telah diyakini selama berabad-abad mungkin akan cukup sulit untuk diubah, namun kepercayaan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya apabila kita senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik.
#DinkesPabar #SalamSehat