PCR Covid-19 Akankah Teluk Bintuni Menjadi Yang Pertama
Herman Lawalata / Thursday, 30 Apr 2020 / 09:20 WIT / 3.283 Read
Dalam tulisan sebelumnya, Agus Sumule menggagas tentang desentralisasi pengujian untuk turut mengoptimalkan upaya menangkis pandemi Covid-19 di Tanah Papua (klik Agus Sumule: “Melawan Covid-19 Dengan Desentralisasi Pengujian”). Sesungguhnya, simultan dengan di-posting-nya tulisan itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni telah mengambil langkah-langkah awal untuk mewujudkannya.
“Anggaran yang disiapkan untuk alat-alat Polymerase Chain Reaction (PCR) sebesar 1,9 milyar dan untuk bahan medis habis pakainya sebesar 2,4 milyar untuk 5.000 tes,” kata dr. Eka Widrian Suradji, Ph.D., selaku Direktur RSUD Kabupaten Teluk Bintuni (klik Hal Yang Hilang Dan Yang Tidak Boleh Hilang). “Modal utama yang kami miliki adalah semangat juang dan harapan untuk bisa membebaskan masyarakat kita dari ancaman Covid-19. Kedua, kami telah memiliki Bio Safety Cabinet (BSC) level dua. Kami juga memiliki Tim Laboratorium yang mau belajar. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan anggaran dari Pemerintah Daerah dan support moril dan material dari seluruh elemen masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni,” lanjut dr. Eka yang mengambil gelar doktornya di Negeri Sakura.
Hironimus Pangal, S.ST sedang berada di depan Bio Safety Cabinet (BSC) level 2 di BBLK Makassar.
Guna segera mewujudkan rencana tersebut, RSUD Kabupaten Teluk Bintuni telah mengirimkan dua Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)-nya mengikuti pelatihan Real Time PCR (rt PCR) di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar. “Hari ini hari kelima kami mengikuti pelatihan. Di sini kami belajar melakukan ekstraksi materi Ribo Nucleic Acid (RNA) dari Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS CoV-2) yang berasal dari sampel swab tenggorokan. Kami menggunakan berbagai merek reagen RNA Viruses Extraction Kit. Untuk dapat menjalankan pemeriksaan rt PCR, selain membutuhkan BSC level A2 atau B2, kita juga membutuhkan freezer -20, freezer -80, autoclave, ruangan ekstraksi, ruangan pelarutan primer dan reagen serta ruangan mixing sampel dan primer,” ungkap Hironimus Pangal, S.ST, salah satu ATLM yang mengikuti pelatihan tersebut.
ATLM lulusan Diploma IV Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2013 itu selanjutnya mengungkapkan kekuatirannya, “Proses pemeriksaan rt PCR Covid-19 ini cukup panjang dan membutuhkan arus listrik yang stabil. Padahal, terkadang terjadi pemadaman listrik di Bintuni. Masalah lainnya adalah ketersediaan dan distribusi logistik ke Bintuni. Barang-barang tertentu, seperti primer kit, yang bukan buatan dalam negeri bukan hanya mahal, tetapi juga sulit didapatkan. Ada uang, belum tentu barang ada” (klik Kami Bisa Beli Mesin PCR! Semudah Itukah?). Primer adalah sekuens (biasanya DNA) yang komplemen terhadap sekuens yang akan diamplifikasi dalam reaksi berantai PCR.
Hiro, yang pernah bersama penulis menimba ilmu tentang malaria di Melbourne, Australia ini (klik Para Pejuang Malaria dari Tanah Papua) berharap agar nantinya pemeriksaan rt PCR ini tidak dijadikan sebagai pemeriksaan rutin di Bintuni, mengingat beberapa kesulitan di atas, tetapi menjadi pemeriksaan gold standard bagi kasus-kasus yang telah disaring dengan ketat melalui penyelidikan epidemiologi yang baik.
“Ketiadaan pemeriksaan PCR di Papua Barat menjadikan upaya tracing kasus menjadi sangat lambat dan tidak pasti. Ini menimbulkan efek buruk bagi upaya pengendalian, juga bagi tenaga kesehatan serta para OTG, ODP dan PDP,” ungkap dr. Eka. Semoga kehadiran pemeriksaan PCR di Kabupaten Teluk Bintuni nantinya dapat mengurangi efek buruk tersebut, setidaknya di Kabupaten Teluk Bintuni. Harapannya wilayah-wilayah lain dapat segera mengikuti jejak Bintuni, di luar upaya yang sedang dipersiapkan di wilayah Manokwari dan Sorong dengan pemanfaatan alat Tes Cepat Molekuler (TCM) Tuberkulosis.
-DoVic 300420-
#DinkesPabar #SalamSehat