Praktik Dokter Gigi di Masa Pandemi Covid19 Amankah
Ronny Risamassu / Wednesday, 16 Dec 2020 / 19:00 WIT / 4.471 Read
Pada tanggal 28 Agustus 2020, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa aerosol juga bisa terjadi pada penggunaan beberapa alat di Klinik Gigi dan Mulut, yaitu (1) ultrasonic scalers, (2) highspeed dental handpieces, (3) air/water syringe, (4) air polishing dan (5) air abrasion. CDC menyarankan agar tindakan menggunakan kelima alat tersebut dilakukan di ruang bertekanan negatif. “Bila tidak bisa menyediakan ruang bertekanan negatif, maka lakukan rekayasa engineering (klik APD Bukan Satu-Satunya!). Pada ruang tertutup pastikan pergantian udaranya minimal 12 Air Change per Hour (ACH) dan gunakan filter HEPA portable. Bila tidak bisa juga, maka lakukan skrining dan hanya pasien yang terbukti Tidak Covid-19 yang bisa dilayani,” ungkap dr. SH. Manullang, Sp.B.(K), FINACS.
Informasi ini disampaikan dr. Manullang dalam Sosialisasi Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Sosialisasi ini diselenggarakan via Zoom oleh Direktorat Mutu dan Akreditasi Fasilitas Kesehatan, Kementerian Kesehatan pada tanggal 15-16 Desember 2020. Sosialisasi ini dilakukan sehubungan dengan telah dibuatnya Pedoman Teknis PPI di FKTP (klik Unicef dan Komite PPI RS Peduli PPI Puskesmas). Pedoman Teknis ini akan menjadi acuan penerapan PPI di Puskesmas, baik dalam aspek pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) maupun Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP). Dalam pelayanan UKP, penerapan PPI di Puskesmas mencakup sebelas jenis pelayanan, di antaranya pelayanan pendaftaran dan rekam medik, pelayanan pemeriksaan umum/rawat jalan, pelayanan gawat darurat, pelayanan persalinan normal, pelayanan rawat inap, pelayanan laboratorium, pelayanan kefarmasian serta pelayanan kesehatan gigi dan mulut (klik Gambaran Community Periodontal Index Treatment Needs (CPITN) pada Penduduk Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan).
dr. Manullang yang pernah hadir sebagai narasumber dalam sebuah kegiatan di Provinsi Papua Barat ini (klik Dengan PPI, Sayonara HAIs) selanjutnya menjelaskan, “Hal-hal tadi adalah tambahan dari penyampaian World Health Organization (WHO) sebelumnya yang menyatakan bahwa yang termasuk Aerosol Generating Procedure (AGP), di antaranya adalah (1) intubasi trakhea, (2) trakheotomi, (3) ventilasi manual sebelum intubasi, (4) induksi sputum menggunakan nebulizer saline hipertonik, (5) ventilasi non invasif, (6) bronkhoskopi, (7) resusitasi jantung paru dan (8) prosedur autopsi. Gunakan masker respiratorik N-95 setiap kali melakukan AGP!”
Saat terjadi kelangkaan, pemakaian ulang (re-use) N-95 diperbolehkan dengan beberapa catatan, yaitu maksimal pemakaian ulang sebanyak lima kali oleh petugas yang sama dan maksimal total lama pakai delapan jam. Saat melepas jangan menyentuh permukaan dalam dan luar masker. Kondisi masker harus tidak rusak, tidak basah atau kotor atau tercemar dan saat pakai ulang harus lulus fit test. Masker disimpan dalam kantong kertas breathable dan diberi label nama petugas. “Masker harus didekontaminasi terlebih dahulu. WHO hanya membolehkan dekontaminasi dengan cara (1) H2O2 vaporized, (2) ethylene oxide atau (3) UV irradiation. Jika tidak bisa melakukan dekontaminasi dengan salah satu dari tiga cara tersebut, maka masker respiratorik N-95 tidak boleh dipakai ulang!” tegas dr. Manullang (klik Kok Begitu Cara Pakai Maskernya?, Ngobrol Membawa Petaka).
-DoVic 161220-
#DinkesPabar #SalamSehat